Senin, 13 Oktober 2025

MAKALA FILSAFAT AL-QUR’AN

FILSAFAT AL-QUR’AN

(MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AL-QURAN)

Dosen Pengampu : Dra. Asnil Aidah Ritonga M.A


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (2)

Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Medan

2016

 

 

PEMBAHASAN

 

A.    QUR`AN DAN ILMU PENGETAHUAN

              Ilmu pengetahuan selalu memperbaharui diri seiring dengan perkembangan zaman, dan itu berlangsung menurut hukum kemajuan. Hingga sekarang ini, ilmu masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan terang, antara terpencar dan terkumpul, antara keliru dan mendekati kebenaran. Pada mula nya ilmu bersifat perkiraan, kemudian meningkat menjadi meyakinkan. Tidak jarang pula kaidah-kaidah ilmiah yang pada mulanya dianggap kokoh, kemudian ternyata menjadi goyah, yang pada mulanya di anggap mantap, kemudian menjadi goncang. Dari berbagai kitab aqidah (agama), orang tidak diminta menerapkan masalah-masalah ilmu pengetahuan setiap masalah tersebut timbul didalam suatu generasi. Para penganut aqidah itupun tidak di minta merinci ilmu dari kitab-kitab nya, seperti yang biasa dilakukan di tempat eksperimen dan kamar studi. Sebab, perincian ilmu pengetahuan tergantung pada upaya manusia yang di sesuaikan menurut kebutuhan dan kondisi zamannya. Sesudah abad-abad pertengahan, banyak orang yang berbuat kekeliruan dengan mengingkari. Perputaran bola bumi dan  kekeliruan dengan mengingkari perputaran bola bumi dan peredarannya mengelilingi matahari. Sikap itu didasarkan pada pengertian yang mereka tarik dari ayat ayat Kitab suci. Kekeliruan yang sama di buat pula oleh orang-dari zaman berikutnya. Mereka menafsirkan tujuh petala langit dengan tujuh planet didalam tata surya. Terhadap jumlah planet bukan tujuh, melainkan sepuluh. Terhadap tujuh buah planet itu pun – jika kesimpulan mereka itu benar – masih membutuhkan penafsiran leebih jauh[1]      

    Jadi, al-Qur`anul-Karim adalah sejalan dengan ilmu pegetahuan, atau sesuai dengan semua [2]cabang ilmu alam, dalam pengertian yang meluruskan aqidah. Qur`an tidak menhendaki kemungkinan adanya pertentangan dan keraguan ketika terjadinya perubahan kaidah kaidah itu mengikuti hasil penemuan baru yang merobohkan pemikiran lama, atau sewaktu bukti-bukti yang meyakinkan menghapus dugaan dugaan yang diragukan[3]

        B.     SEBAB MUSABAB DAN PENCIPTAAN

        Semua orang sepakat bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti disertai sebab musabab. Ini pendapat semua ahli ilmu dan filsafat. Ini juga anggapan kaum awam pada umumnya.

        Sebab musabab memang ada. Mngenai hal ini tak ada yang berbeda pendapat. Kalau pun ada, perbedaan yang terbesar ialah mengenai: Apakah sebab itu, dan bagaimana ia bekerja? Apakah sebab musabab yang bekerja sebagai faktor itu suatu unsur yang mandiri di alam wujud ini. Dan apakah peristiwa yang ditimbulkan oleh faktor tersebut merupakan unsur lain yang berbeda dengan sebab musabab, baik dalam hal hakikatnya maupun kekuatannya? Apakah sebab musabab itu merupakan suatu kekuatan yang berpindah-pindah diantara segala sesuatu dan diantara segala peristiwa? Ataukah sebab musabab merupakan kekuatan khusus yang ada pada tiap sesuatu dan tiap peristiwa?[4]

    Segala sesuatu pasti mempunyai sebab musabab, dan seperti telah di kemukakan tak ada perbedaan pendapat mengenai hal itu.

         Akan tetapi apakah sebab itu?
         “Sebab”-kah yang mengadakan sesuatu dan yang menciptakannya; sehingga tanpa adanya 
sebab, sesuatu tidak akan tercipta? Apakah “sebab” merupakan keajadian yang mendahului sesuatu, atau menyertai dan selalu bersama sema dengan terjadinya sesuatu?

       Jika ada anggapan bahwa “Sebab” itulah yang mengadakan sesuatu, anggapan seperti itu tidak mungkin dapat di terima oleh akal. Ia bahkan menghadapi tentangan keras, malahan lebih keras daripada tentangan yang dihadapi oleh masalah-masalah pemikiran lainnya.

      Yang sudah lazim dibenarkan oleh akal pikiran dan telah pula dianggap terpercaya ialah, bahwa sebab musabab pasti mendahului adanya sesuatu, atau menyertai dan bersama sama dengan terjadinya sesuatu.[5]
     

C.    AJARAN-AJARAN AL-QUR`AN TENTANG FILSAFAT

Al-Qur`an. Meskipun kitab-kitab yang di turunkan kepada para nabi tardahulu, terutama kitab-kitab suci orang Nasrani dan Yahudi, di pandang suci oleh orang-orang islam, namun al-Qur`an yang di wahyukan kepadda Muhammad,nabi terakhir adalah kitab suci yang paling utama. Doktrin yang di tunjukkan oleh al-Qur`an bukan sesuatu yang baru, tatapi serupa dengan kitab-kitab suci para rosulterdahulu, al-Qur`an meletakkan dasar kepercayaan yang sama dengan yang di anut oleh nabi Nuh dan Ibrahim. Ia diwahyukan dengan bahasa Arab untuk menjadi petunjuk bagi manusia, menghapus ketidak jujuran dan menyampaikan berita gembira bagi orang-orang yang benar. Allah tidak pernah menghapuskan wahyu-wahyuNya, tetapi Ia memperkuat, menggantikannya dengan yang serupa atau yang lebih baik sesuai kebutuhan dan tuntutan pada saat itu.

      Al-Qur`an pada dasarnya adalah kitab agama yang bukan filsafat, tetapi iya menggarap persoalan-persoalan yang sama-sama terdapat pada agama dan filsafat. Keduanya harus dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan makna ungkapan-ungkapan seperti Tuhan, dunia, ruh individu dan antar-hubungan antara baik dan buruk, kebebasan berkehendak (free will) dan kehidupan setelah mati. Selagi menggarap masalah-masalah ini, ia juga menyoroti konsep konsep seperti “yang tampak” dan “hakikat”, eksistensi dan sifat sifat, asaal-usul dan nasib manusia, benar dan salah, ruang dan waktu, ketetapan dan perubahan, kekekalan dan keabadian[6]     

   Al-Qur`an mengklaim bahwa ia telah memaparkan kebenaran- kebenaran universal yang berkaitan dengan masalah-masalah ini suatu keterangan dengan bahasa (dan terminilogi) yang dengan mudah segera dapat dimengerti oleh orang-orang Arab dengan latar belakang intelektual yang mereka miliki ketika turunnya wahyu. Demikian pula di tempat-tempat lain, dengan waktu dan bahasa yang berbeda, dapat dengan mudah menafsirkannya. Al-Qur`an banyak menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang bisa di amalkan atas hal-hal esensinya tidak bisa di pahami. Ia adalah kitab tentang kebijakan yang sebagian berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasarnya (ummul kitab) dan menerapkan serta menggambarkannya secara datil, sedang bagian lain berhubungan dengan hal-hal yang dijelaskan secara alegoris (dalam bentuk perlambang)

     Hakikat Paling Sempurna : Tuhan dan Sifat-sifat-Nya. Wujud atau Hakikat yang paling tinggi adalah Allah. Sebagaimana di jelaskan al-Qur`an untuk pemahaman manusia; Allah adalah Dzat yang ada degan sendirinya, melingkupi seluruh alam, abadi dan Hakikat yang Mutlak. Dialah yang terdahulu dan terakhir, dan yang zhahir dan yang bathin. Dia mengatasi (mengungguli) segalanya, sehingga Dia dalam keagungan-Nya yang hakiki tak dapat di ketahui dan dirasakan oleh kita sebagai ciptaan yang terbatas, yakni terbatas karena kita hanya dapat mengetahui apa-apa yang dapat di selidiki melalui akal budi atau lainnya, dan apa-apa yang melekat dalam akal pikiran atau terlintas di dalamnya. Dengan demikian, Allah adalah Dzat yang hidup, ada dengn sendirinya, abado, mempunyai kebebasan penuh untuk berkehendak, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Indah, Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyanyang.[7]

       Sebagai Hakikat yang hidup, Allah menghendaki adanya hubungan timbal balik dengan mahkluk-Nya, Ia juga memberikan kemungkinan mahkluk-Nya untuk bersahabat dengan Nya melalui shalat, tafakur, dan pengetahuan mistis. Dia menerangi dengan cahayaNya rumah orang-orang yang tidak pernah lepas ingat kepadaNya, dari mendirikan shalat dan membayar zakat. HidupNya tampak memiliki keabadian aktivitas dan kreativitasNya[8]

              Tuhan dan Dunia. Tuhan Maha Kuasa. Dari Dialah segala sesuatu berasal. Dia pencipta yang memulai proses penciptaan dan menambahkannya sesuai dengan kehendakNya. Mula-mulain Ia menciptakan langit dan bumi, mempertautkan keduanya dalam satu kesatuan benda seberti kabut atau benda keruh semacam kebut, kemudian Ia membelahnya. Langit dan bumi serta segala isinya diciptakanNya selama enam hari. (enam tahap evolusi)[9]

       Allah adalah pemelihara yang sempurna (rabb) semesta alam dan apa-apa yang tersembunyi (ghaib). Ia maha Kuasa atas segala sesuatu dan kepunyaan-Nyalah tentara langit dan bumi. Dialah Tuhan yang  memiliki `arsy yang mulia, Maha Tinggi dan Mulia yang menguasai fajar, yang memiliki jalan tempat naik. Dialah yang membentangkan bumi bagaikan hamparan, menurunkan air dari langit menurut ukuran untuk menghidupkan kembali bumi yang telah mati dengan buah buah-buahan, biji-bijian dan tetumbuhan, dan Ia telah menciptakan tumbuh-tumbuhan berpasang-pasang yang berpisah satu dengan lainnya, dan pasang-pasangan dari segala sesuatu. Ia menjadikan langit sebagai atap yang baik dan sempurna dan malam yang gelap gulita dan megah. Dia ciptakan pada hamparan bumi ke lembaban, padang rumput dan gunung-gunung, mata air, sugai-sungai dan lautan, kapal-kapal serta ternak, mutiara dan batu permata, matahari dan bayang-bayangnya, angin dan hujan, malam dan siang serta segala sesuatu yang kita tidak mengetahuinya. 

       Kepunyaan Allah apa yang terdapat dilangit dan bumi serta segala sesuatu yang di antara keduanya. Demikian pula Ia menguasai Barat dan Timur. Oleh karena itu kemana saja kamu menghadap maka disana Dia, karena Dia melingkupi semuanya. Ia tiada di hampiri rasa kantuk dan tidak tidur, singgasana-Nya meliputi langit dan bumi semuanya. Dan Dia tidak merasa lelah untuk menjaga dan memelihara ciptaan-Nya, karena Ia maha tinggi dan Maha Agung, Agung dalam kekuasaan dan kebijakan.[10]

       D.     FILSAFAT SAINS DALAM AL QUR`AN

A.     Tugas dan Filsafat Sains Islam

     Dominasi Barat atas dunia Islam, mendorong umat islam mengadopsi konsep-konsep Barat secara buta[11], Hal ini mengakibatkan kerancuan umat Islam dan menjauhkannya dari paham tauhid yang murni dan menyesatkan dari jalan yang lurus. Selain itu juga dapat menghilangkan jati diri, merendahkan harkat dan martabat, serta meruntuhkan jatih diri, kredibilitas moralnya. Oleh karena itu, suatu upaya intensif untuk memformulasikan filsafat sains yang berlandaskan Al Qur`an amat penting bahkan terasa mendesak atau krusial untuk membangun kesadaran epistrmologis bagi saintis muslim modern. Begitu juga melalui filsafat sains yang berpedoman pada al Qur`an dapat membantu para praktisi saintis muslim untuk mengembangkan sains Islam. Tanpa kesadaran epistmologis ini pembahasan tentang sains islam hanya akan berkutat pada tataran data dan fakta yang dangkal, kurang memiliki makna yang lebih mendalam, hanya karena berada pada level feriferial tidak menembus pada akar atau jantung masalah, sehingga terkesan absurd.

     Dewasa ini, para ilmuwan muslim mengembangkan sains modern melalui penemuan-penemuannya yang digunakan untuk meringankan penderitaan manusia dan memberikan kehidupan yang lebih mudah dan nyaman, namun tanpa mengenali landasan filosofinya. Mereka menyadari bahwa sains yang dikerjakan di laboratorium atau yang di tulis dalam buku-buku teks guru besar mereka di peroleh melalui pendidikan modern ala Barat. Kebanyakan propesor disana beranggapan bahwa tujuan dari sains itu adalah untuk menjelaskan ragam fenomena alam, dan digunakan utnuk kehidupan yang lebih baik, namun mereka kurang menyadari landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, sehingga sains modern itu di terima apa adanya dan dianggap benar begitu saja (taken for granted).[12] Masalahnya kemudian bertambah kompleks ketika saintis muslim secara rigid menganggap sains sebagai disiplin ilmu yang independen memiliki tujuan dan metodologi yang spesifik seta terpisah secara keseluruhan dengan disiplin ilmu yang lain. Atas dasar itu pembahasan tetanng sains tidak boleh di campuradukkan dengan filsafat baik pada asppek antologi, epistemilogi maupun aksiloginya, dan apalagi di kaburkan dengan kitab suci. Hal ini, berdampak pada fragmentasi dan kompartementasi secara ketat dalam disiplin-disiplin ilmu modern. Padahal ilmu pengetahuan dalam pandangan al Qur`an merupakan entitas yang utuh, sehingga fragmentasi dan kompartementasi tidak dapat di benarkan. Lebih dari itu, islam memandang bahwa ilmu disusun bukan hanya sekedar untuk mencapai tujuannya sendiri, tetapi seharusnya ilmu dipahami sebagai instrument untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.

     Masih banyak para teoritisi dan praktisi muslim yang masih mempertahankan pandangan yang usang bahwa sains modern merupakan value-free, padahal sains modern sarat dengan muatan nilai pragmatis, positivistis, dan materialistis Barat, sehingga menjadi value-laden. Sains modern memang memiliki kontribusi positif dalam penigkatan fasilitas hidup masyarakat, tetapi ia juga menyisakan dampak negative yang tidak sederhana. Kontribusi positif dan dampak negatif tersebut tidak terbatas pada tataran teoritis, sains modern itu sendiri juga sarat dengan muatan elemen-elemen positif dan negatif. Elemen tersebut bisa merupakan faktor ideologis, sosial, cultural maupun moral. Oleh karenanya, sains modern tidak dapat dikatakan sebagai value-free tetapi lebih tepat value-laden. Atas dasar itu, sains modern tidak dapat dikatakan bersifat universal tetapi lebih bersifat western sentries.

     Tugas filsafat sains islam adalah membedah penyakit-penyakit pemikiran dalam sains Barat, dengan mempertanyakan secara kritis dan mendasar terhadap pandangan[13] dan asumsi-asumsi dasarnya, mengidentifikasi aspek-aspek positif dan negatifnya, serta mengkomparasikan dengan pandangan Islam agar dapat ditarik secara jelas dan tegas garis pemisah antara persamaan dab perbedaannya dengan pandangan islam. Pada saat yang sama, filsafat sains islam juga menghendaki dilakukannya peggalian terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran islam agar dapat dijadikan sebagai landasan pengebangan sains. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka upaya mengintegrasikan sains Barat kedalam islam—dengan mengeliminasi aspek-aspek yang bertentangan dengan islam—menjadi lebih bermakna. Jika tidak, maka integrasi alternative dari sains Barat yang telah berada di ambang krisis dan tidak dapat memecahkan problem masyarakatnya sendirin alih-alih umat islam.[14]

 E.     AL QUR`AN DAN MASYARAKAT DAKWAH

A.             Filsafat Ketuhanan dan Fisika

    Sejak dahulu sampai sekarang, para filosof dan ahli pikir telah sangat letih berfikir dan membahas tenteng “Prinsip Pertama” bagi alam samawi dan bumi ini: bagaimana alam semesta ini terjadi dari-Nya sekiranya wujudnya memang berasal dari-Nya. Dalam masalah ini, mereka sangat berbeda pendapat dan sampai sekarang masih demikian.

          Akan tetapi, al-Qur`an telah member kata putus dalam masalah ini dan telah membuktikan

kebenaran yang dibawanya pada setiap masalah itu dengan dalil-dalil yang logis dan rasional serta intuitif yang di akui oleh akal dan hati dalam waktu yang sama. Dar itu, perhatian umat Islam pada tahap awal dari sejarah Islam adalah tertuju pada memahami isi al-Qur`an dalam masalah-masalah tersebut setelah mereka beriman lebih dulu kepadanya berdasarkan ilmu dan penalaran, yaitu melalui dalil-dalil kosmologi yang telah dialihkan perhatian mereka kepadanya oleh wahyu untuk berpikir dan menggunakan rasio.

Tidak mudah menghimpun ayat-ayat al Qur`an yang menunjukkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta, manusia dan segala yang melata di atas bumi serta yang terkandung di dalamnya. Allah telah menjadikan semua itu dari tidak ada dan meletakkannya dalam suatu sistem yang indah lagi rapi agar dapat menjadikan sasaran pemikiran akal, sehingga darinya dapat disimpulkan adanya Pencipta Yang Maha Esa secara pasti, dan juga agar kehidupan manusia di dalamnya menjadi mudah dan gampang.[15]

            Dari itu, dapatlah kita mengerti metode al-Qur`an dalam membentangkan hakikat-hakikat falsafi, dan dalam membuat dalilnya dengan berbicara kepada indra, hati dan akal secara serentak, sehingga setiap orang yang mau berfikir dengan wajar dalam bertadabbur ayat-ayat al-Qur`an dalam masalah ini akan sampai kepada imam bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Bijaksana.[16]

Bukanlah disini tempatnya merincikan solusi-solusi yang hak yang dibawa al-Qur`an terhadap problema-problema yang telah dan masih membingungkan para filosof dan ahli pikir dalam filsafat ketuhanan dan filsafat alam. Cukuplah sekedarnya kami singgung disini bahwa al-Qur`an mengandung dalam ajarannya pokok-pokok dua filsafat tersebut, yakni alam semesta ini tidak lah terjadi dengan sendirinya seperti yang dikatakan oleh kaum ateis dan naturalis. Alam ini dijadikan dari tidak ada Oleh Allah Yang Maha Esa, tidak ada serikat dan pembantu bagi-Nya. Inilah yang merupakan faktor kuat yang kemudiannya telah memalingkan perhatian pemikir islam terhadap filsafat dalam berbagai sisinya.[17]

            Demikian al-Qur`an menyelesaikan persoalan ketuhanan dan alam ciptaan. Jadi, Allah bukanlah “Penggerak Pertama” seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, dan bukan pula hanya “pembuat” yang telah selesai membuat lalu dibiarkannya tanpa perhatian dan pemeliharaan atau tanpa pengetahuan yang lengkap terhadap apa yang telah terjadi darinya.

Sesungguhya ilmu Allah menjagkau segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi. Dia Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam hati, Mengetahui usaha segala mahkluk; mengetahui apa yang di darat dan apa yang di lautan; mengetahui daun daun yang berguguran di malam gelap gulita dan lain-lain sebagainya seperti firman-Nya dalam surat al-An`am; 3, 59, Surat Hud; 5-6 dan Surat al-Mulk: 13-14.[18]

B.     Filsafat Manusia dan Sosial

 Disamping ini semua, al-Qur`an juga mengandung ajaran tentang filsafat manusia dalam pelbagai limgkungan dan situasi, baik dia sebagai invidu , anggota keluarga, anggota dalam masyarakat besar atau kecil, warga dari suatu bangsa atau Negara ataupun anggota dari masyarakat internasional. Al-Qur`an meremehkan segi-segi tersebut, sehingga ia merupakan Pembina dasar-dasar umum yang menjadi landasan bagi tegaknya masyarakat sejahtera yang diidamkan.

Allah telah melimpahkan kemuliaan yang sempurna bagi manusia dengan menghilangkan kekuasan para pendeta dan tokoh-tokoh agama, sehingga tidak ada lagi perantara atau pemberi syafa`at antara Allah dengan manusia. Jadi, tidak ada pendeta rahib yang memberi ampun bagi insane yang berdosa.[19]

 F.      ILMU DAN FILSAFAT

Sesungguhnya, selama berabad-abad yang lalu ilmu dan filsafat itu menyatu. Dalam perjalanan waktu, pengetahuan menjadi demikian luasnya sehingga amatlah sulit untuk menyatukannya. Filsafat menjadi terpisah dari Ilmu dan Ilmu itu sendiri terpisah manjadi sejumlah ilmu mandiri. Bahkan filsafat menjadi terpecah menjadi sejumlah kajian tertentu. Pembedaan, pembagian dan pemilahan ilmu kini kita dapat menyaksikan ilmu-ilmu seperti Filsafat Agama. Oleh kareana itu, amatlah perlu untuk mendefenisikan apa yang sebenarnya di maksud dengan filsafat dalam buku ini dan filsafat secara umum pada masa kini.

G.    BIDANG KAJIAN FILSAFAT ITU SANGAT LUAS

Filsafat, sebagaimana telah kita nyatakan dalam pembukaan buku ini, sebenarnya sulit karena ia memasalahkan unsure unsur dalam ruang atau bentangan ruang dan waktu matematika memahami fungsinya karena ia memasalahkan dalam buku ini belum lagi menyadari batas-batasnya. Ia hendak mencakup semua[20]cabang ilmu lainnya dengan harapan dapat memahami dasar semuanya, naun ia sendiri belum menemukan dasar nya sendiri, dan bahkan mungkin tidak akan menemukannya. Di sinilah letak kesulitannya serta keragamannya. Filsafat adalah cabang ilmu yang paling penting, dan semua perkembangan manusia dan ilmunya pasti terkait dengan perkembangan filsafat. Sama seperti kehendak manusia untuk menguasai semua tindakannya, maka demikian pula filsafat kebudayaan hendak menguasai semua arah perkembangannya. Suatu peradaban tanpa bimbingan filsafat sama saja seperti sebuah kapal tanpa kompas.

Lalu Apakah Filsafat Itu? 

Apakah tujuannya? Apakah fuungsinya? Apa saja permasalahannya? Bagaimana metodenya? Ini semua merupakan pertanyaan-petanyaan penting, dan kendati jawabannya sulit, kita harus berusaha meninjaunya secara ringkas sebelum mulai masuk kedalam perinciannya, dengan demikian kita mempunyai bayangan apa yang di permasalahkan dalam bahasa kita. Defenisi dibawah ini bukanlah dari penulis, tapi pekerjaan member acuan kepada setiap penulis dan mengutip setiap bab dan ayatnya syngguh bertele-tele[21] padahal banyak sekali persamaanya, sehingga akan menyesatkan jika harus mengenali satu penulis tertentu dengan defenisinya atau deskripsinya mengenai filsafat. Tujuan utama kajian filsafat adalah untuk memastikan sifat kenyataan yang paling mutlak.

Sedangkan kenyataan adalah dasar keberadaan, tetapi kenyataan itu merupakan kualitas yang tidak dapat di defenisikan. Dia adalah keberadaan atau kehadiran andai kata kita dapat mendefenisikan Kenyataan, maka tidak lah perlu ada filsafat. Filsafat adalah sebuah kajian sistematik mengenai sifat kenyataan Dean Inge mengatakan: “saya sulit membedakan antara filsafat dan agama” L.T. Hobhouse berpendapat bahwa, “filsafat adalah suatu usaha rasional untuk menerjemahkan kenyataan secara keseluruhan”.[22] 

Perbedaan antara Ilmu dan Filsafat

 Ilmu membatasi dirinya kepada kajian sejumlah aspek kenyataan tertentu, sedangkan filsafat menyibukkan dirinya dengan sifat mutlak dari kenyataan. Beberapa concoh akan menjelaskan apa yang di maksud dengan perbedaan itu.

 Matematika dalah salah satu ilmu pasti yang mengkaji abstraksi ruang dan angka. Baik matemayika euklides maupun lainnya merumuskan gagasan-gagasan atau konsep-konsepnya kedalam bahasa lambing dan angka untuk menyajikan konsep-konsep itu. Setelah itu dapatlah diikuti secara deduktif onsepnya dan menetapkan sebuah sistem pengukuran tertentun yang berkenan dengan angka-angka dan keruangannya, yang semuanya berguna dalam kehidupan kita dan peelitian ilmu lainnya. Kita menjadi sadar akan sifat kenyataan dari ruang dan angka degan cara penyajian demikian.[23]

 

 

 


 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.     Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986

2.     M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997

3.     Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007

4.     Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998

5.     Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993



[1] Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 11)

 

[3] Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 16)

[4] [4] Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 17)

[5] Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 19)

 

[6] M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997(hal 5)

[7] [7] M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997(hal 6)

                                          

[8] M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997(hal 7)

 

[9] M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997(hal 8)

[10] M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung): Mizan anggota IKAPI-1997(hal 10)

 

[11] Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal6)

 

[12] Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal6)

[13] Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal7)

 

[14] Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal8)

 

[15] Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 11)

[16]  Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 12)

 

[17]  Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 13)

 

[18] Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 18)

[19] .Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 22)

[20] Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 9)

[21] Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 10)

[22] Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 11)

[23] Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar