FILSAFAT AL-QUR’AN
(MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AL-QURAN)
Dosen Pengampu : Dra. Asnil Aidah Ritonga M.A
Fakultas
Ilmu Tarbiyah & Keguruan
Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara
Medan
2016
PEMBAHASAN
A.
QUR`AN DAN ILMU
PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan selalu memperbaharui diri seiring dengan perkembangan zaman, dan itu berlangsung menurut hukum kemajuan. Hingga sekarang ini, ilmu masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan terang, antara terpencar dan terkumpul, antara keliru dan mendekati kebenaran. Pada mula nya ilmu bersifat perkiraan, kemudian meningkat menjadi meyakinkan. Tidak jarang pula kaidah-kaidah ilmiah yang pada mulanya dianggap kokoh, kemudian ternyata menjadi goyah, yang pada mulanya di anggap mantap, kemudian menjadi goncang. Dari berbagai kitab aqidah (agama), orang tidak diminta menerapkan masalah-masalah ilmu pengetahuan setiap masalah tersebut timbul didalam suatu generasi. Para penganut aqidah itupun tidak di minta merinci ilmu dari kitab-kitab nya, seperti yang biasa dilakukan di tempat eksperimen dan kamar studi. Sebab, perincian ilmu pengetahuan tergantung pada upaya manusia yang di sesuaikan menurut kebutuhan dan kondisi zamannya. Sesudah abad-abad pertengahan, banyak orang yang berbuat kekeliruan dengan mengingkari. Perputaran bola bumi dan kekeliruan dengan mengingkari perputaran bola bumi dan peredarannya mengelilingi matahari. Sikap itu didasarkan pada pengertian yang mereka tarik dari ayat ayat Kitab suci. Kekeliruan yang sama di buat pula oleh orang-dari zaman berikutnya. Mereka menafsirkan tujuh petala langit dengan tujuh planet didalam tata surya. Terhadap jumlah planet bukan tujuh, melainkan sepuluh. Terhadap tujuh buah planet itu pun – jika kesimpulan mereka itu benar – masih membutuhkan penafsiran leebih jauh[1]
Jadi, al-Qur`anul-Karim adalah sejalan dengan ilmu pegetahuan, atau sesuai dengan semua [2]cabang ilmu alam, dalam pengertian yang meluruskan aqidah. Qur`an tidak menhendaki kemungkinan adanya pertentangan dan keraguan ketika terjadinya perubahan kaidah kaidah itu mengikuti hasil penemuan baru yang merobohkan pemikiran lama, atau sewaktu bukti-bukti yang meyakinkan menghapus dugaan dugaan yang diragukan[3]
B. SEBAB MUSABAB DAN PENCIPTAAN
Semua orang sepakat bahwa setiap peristiwa
yang terjadi pasti disertai sebab musabab. Ini pendapat semua ahli ilmu dan
filsafat. Ini juga anggapan kaum awam pada umumnya.
Sebab musabab memang ada. Mngenai hal ini tak ada yang berbeda pendapat. Kalau pun ada, perbedaan yang terbesar ialah mengenai: Apakah sebab itu, dan bagaimana ia bekerja? Apakah sebab musabab yang bekerja sebagai faktor itu suatu unsur yang mandiri di alam wujud ini. Dan apakah peristiwa yang ditimbulkan oleh faktor tersebut merupakan unsur lain yang berbeda dengan sebab musabab, baik dalam hal hakikatnya maupun kekuatannya? Apakah sebab musabab itu merupakan suatu kekuatan yang berpindah-pindah diantara segala sesuatu dan diantara segala peristiwa? Ataukah sebab musabab merupakan kekuatan khusus yang ada pada tiap sesuatu dan tiap peristiwa?[4]
Segala sesuatu pasti mempunyai sebab musabab, dan seperti telah di kemukakan tak ada perbedaan pendapat mengenai hal itu.
Akan tetapi apakah sebab itu?
“Sebab”-kah yang mengadakan sesuatu dan yang
menciptakannya; sehingga tanpa adanya sebab, sesuatu tidak akan tercipta? Apakah “sebab” merupakan keajadian yang
mendahului sesuatu, atau menyertai dan selalu bersama sema dengan terjadinya
sesuatu?
Jika ada anggapan bahwa “Sebab”
itulah yang mengadakan sesuatu, anggapan seperti itu tidak mungkin dapat di
terima oleh akal. Ia bahkan menghadapi tentangan keras, malahan lebih keras
daripada tentangan yang dihadapi oleh masalah-masalah pemikiran lainnya.
Yang sudah lazim
dibenarkan oleh akal pikiran dan telah pula dianggap terpercaya ialah, bahwa
sebab musabab pasti mendahului adanya sesuatu, atau menyertai dan bersama sama
dengan terjadinya sesuatu.[5]
C.
AJARAN-AJARAN
AL-QUR`AN TENTANG FILSAFAT
Al-Qur`an. Meskipun
kitab-kitab yang di turunkan kepada para nabi tardahulu, terutama kitab-kitab
suci orang Nasrani dan Yahudi, di pandang suci oleh orang-orang islam, namun
al-Qur`an yang di wahyukan kepadda Muhammad,nabi terakhir adalah kitab suci
yang paling utama. Doktrin yang di tunjukkan oleh al-Qur`an bukan sesuatu yang
baru, tatapi serupa dengan kitab-kitab suci para rosulterdahulu, al-Qur`an
meletakkan dasar kepercayaan yang sama dengan yang di anut oleh nabi Nuh dan
Ibrahim. Ia diwahyukan dengan bahasa Arab untuk menjadi petunjuk bagi manusia,
menghapus ketidak jujuran dan menyampaikan berita gembira bagi orang-orang yang
benar. Allah tidak pernah menghapuskan wahyu-wahyuNya, tetapi Ia memperkuat,
menggantikannya dengan yang serupa atau yang lebih baik sesuai kebutuhan dan
tuntutan pada saat itu.
Al-Qur`an pada dasarnya adalah kitab agama yang bukan filsafat, tetapi iya menggarap persoalan-persoalan yang sama-sama terdapat pada agama dan filsafat. Keduanya harus dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan makna ungkapan-ungkapan seperti Tuhan, dunia, ruh individu dan antar-hubungan antara baik dan buruk, kebebasan berkehendak (free will) dan kehidupan setelah mati. Selagi menggarap masalah-masalah ini, ia juga menyoroti konsep konsep seperti “yang tampak” dan “hakikat”, eksistensi dan sifat sifat, asaal-usul dan nasib manusia, benar dan salah, ruang dan waktu, ketetapan dan perubahan, kekekalan dan keabadian[6]
Al-Qur`an mengklaim bahwa ia telah memaparkan kebenaran- kebenaran universal yang berkaitan dengan masalah-masalah ini suatu keterangan dengan bahasa (dan terminilogi) yang dengan mudah segera dapat dimengerti oleh orang-orang Arab dengan latar belakang intelektual yang mereka miliki ketika turunnya wahyu. Demikian pula di tempat-tempat lain, dengan waktu dan bahasa yang berbeda, dapat dengan mudah menafsirkannya. Al-Qur`an banyak menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang bisa di amalkan atas hal-hal esensinya tidak bisa di pahami. Ia adalah kitab tentang kebijakan yang sebagian berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasarnya (ummul kitab) dan menerapkan serta menggambarkannya secara datil, sedang bagian lain berhubungan dengan hal-hal yang dijelaskan secara alegoris (dalam bentuk perlambang)
Hakikat Paling Sempurna : Tuhan dan
Sifat-sifat-Nya. Wujud atau Hakikat yang paling tinggi
adalah Allah. Sebagaimana di jelaskan al-Qur`an untuk pemahaman manusia; Allah
adalah Dzat yang ada degan sendirinya, melingkupi seluruh alam, abadi dan
Hakikat yang Mutlak. Dialah yang terdahulu dan terakhir, dan yang zhahir
dan yang bathin. Dia mengatasi (mengungguli) segalanya, sehingga Dia
dalam keagungan-Nya yang hakiki tak dapat di ketahui dan dirasakan oleh kita
sebagai ciptaan yang terbatas, yakni terbatas karena kita hanya dapat
mengetahui apa-apa yang dapat di selidiki melalui akal budi atau lainnya, dan
apa-apa yang melekat dalam akal pikiran atau terlintas di dalamnya. Dengan
demikian, Allah adalah Dzat yang hidup, ada dengn sendirinya, abado, mempunyai
kebebasan penuh untuk berkehendak, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Indah,
Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyanyang.[7]
Sebagai Hakikat yang hidup, Allah menghendaki adanya hubungan timbal balik dengan mahkluk-Nya, Ia juga memberikan kemungkinan mahkluk-Nya untuk bersahabat dengan Nya melalui shalat, tafakur, dan pengetahuan mistis. Dia menerangi dengan cahayaNya rumah orang-orang yang tidak pernah lepas ingat kepadaNya, dari mendirikan shalat dan membayar zakat. HidupNya tampak memiliki keabadian aktivitas dan kreativitasNya[8]
Tuhan dan Dunia. Tuhan Maha Kuasa. Dari Dialah segala sesuatu berasal. Dia pencipta yang memulai proses penciptaan dan menambahkannya sesuai dengan kehendakNya. Mula-mulain Ia menciptakan langit dan bumi, mempertautkan keduanya dalam satu kesatuan benda seberti kabut atau benda keruh semacam kebut, kemudian Ia membelahnya. Langit dan bumi serta segala isinya diciptakanNya selama enam hari. (enam tahap evolusi)[9]
Allah adalah pemelihara yang sempurna (rabb)
semesta alam dan apa-apa yang tersembunyi (ghaib). Ia maha Kuasa atas
segala sesuatu dan kepunyaan-Nyalah tentara langit dan bumi. Dialah Tuhan
yang memiliki `arsy yang mulia,
Maha Tinggi dan Mulia yang menguasai fajar, yang memiliki jalan tempat naik.
Dialah yang membentangkan bumi bagaikan hamparan, menurunkan air dari langit
menurut ukuran untuk menghidupkan kembali bumi yang telah mati dengan buah
buah-buahan, biji-bijian dan tetumbuhan, dan Ia telah menciptakan
tumbuh-tumbuhan berpasang-pasang yang berpisah satu dengan lainnya, dan
pasang-pasangan dari segala sesuatu. Ia menjadikan langit sebagai atap yang
baik dan sempurna dan malam yang gelap gulita dan megah. Dia ciptakan pada
hamparan bumi ke lembaban, padang rumput dan gunung-gunung, mata air,
sugai-sungai dan lautan, kapal-kapal serta ternak, mutiara dan batu permata,
matahari dan bayang-bayangnya, angin dan hujan, malam dan siang serta segala
sesuatu yang kita tidak mengetahuinya.
Kepunyaan Allah apa yang terdapat dilangit dan bumi serta segala sesuatu yang di antara keduanya. Demikian pula Ia menguasai Barat dan Timur. Oleh karena itu kemana saja kamu menghadap maka disana Dia, karena Dia melingkupi semuanya. Ia tiada di hampiri rasa kantuk dan tidak tidur, singgasana-Nya meliputi langit dan bumi semuanya. Dan Dia tidak merasa lelah untuk menjaga dan memelihara ciptaan-Nya, karena Ia maha tinggi dan Maha Agung, Agung dalam kekuasaan dan kebijakan.[10]
D. FILSAFAT SAINS DALAM AL QUR`AN
A.
Tugas
dan Filsafat Sains Islam
Dominasi Barat atas dunia Islam, mendorong
umat islam mengadopsi konsep-konsep Barat secara buta[11],
Hal ini mengakibatkan kerancuan umat Islam dan menjauhkannya dari paham tauhid
yang murni dan menyesatkan dari jalan yang lurus. Selain itu juga dapat
menghilangkan jati diri, merendahkan harkat dan martabat, serta meruntuhkan
jatih diri, kredibilitas moralnya. Oleh karena itu, suatu upaya intensif untuk
memformulasikan filsafat sains yang berlandaskan Al Qur`an amat penting bahkan
terasa mendesak atau krusial untuk membangun kesadaran epistrmologis bagi
saintis muslim modern. Begitu juga melalui filsafat sains yang berpedoman pada
al Qur`an dapat membantu para praktisi saintis muslim untuk mengembangkan sains
Islam. Tanpa kesadaran epistmologis ini pembahasan tentang sains islam hanya
akan berkutat pada tataran data dan fakta yang dangkal, kurang memiliki makna
yang lebih mendalam, hanya karena berada pada level feriferial tidak menembus
pada akar atau jantung masalah, sehingga terkesan absurd.
Dewasa ini, para ilmuwan muslim mengembangkan sains modern melalui penemuan-penemuannya yang digunakan untuk meringankan penderitaan manusia dan memberikan kehidupan yang lebih mudah dan nyaman, namun tanpa mengenali landasan filosofinya. Mereka menyadari bahwa sains yang dikerjakan di laboratorium atau yang di tulis dalam buku-buku teks guru besar mereka di peroleh melalui pendidikan modern ala Barat. Kebanyakan propesor disana beranggapan bahwa tujuan dari sains itu adalah untuk menjelaskan ragam fenomena alam, dan digunakan utnuk kehidupan yang lebih baik, namun mereka kurang menyadari landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, sehingga sains modern itu di terima apa adanya dan dianggap benar begitu saja (taken for granted).[12] Masalahnya kemudian bertambah kompleks ketika saintis muslim secara rigid menganggap sains sebagai disiplin ilmu yang independen memiliki tujuan dan metodologi yang spesifik seta terpisah secara keseluruhan dengan disiplin ilmu yang lain. Atas dasar itu pembahasan tetanng sains tidak boleh di campuradukkan dengan filsafat baik pada asppek antologi, epistemilogi maupun aksiloginya, dan apalagi di kaburkan dengan kitab suci. Hal ini, berdampak pada fragmentasi dan kompartementasi secara ketat dalam disiplin-disiplin ilmu modern. Padahal ilmu pengetahuan dalam pandangan al Qur`an merupakan entitas yang utuh, sehingga fragmentasi dan kompartementasi tidak dapat di benarkan. Lebih dari itu, islam memandang bahwa ilmu disusun bukan hanya sekedar untuk mencapai tujuannya sendiri, tetapi seharusnya ilmu dipahami sebagai instrument untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.
Masih
banyak para teoritisi dan praktisi muslim yang masih mempertahankan pandangan
yang usang bahwa sains modern merupakan value-free, padahal sains modern
sarat dengan muatan nilai pragmatis, positivistis, dan materialistis Barat,
sehingga menjadi value-laden. Sains modern memang memiliki
kontribusi positif dalam penigkatan fasilitas hidup masyarakat, tetapi ia juga
menyisakan dampak negative yang tidak sederhana. Kontribusi positif dan dampak
negatif tersebut tidak terbatas pada tataran teoritis, sains modern itu sendiri
juga sarat dengan muatan elemen-elemen positif dan negatif. Elemen tersebut
bisa merupakan faktor ideologis, sosial, cultural maupun moral. Oleh karenanya,
sains modern tidak dapat dikatakan sebagai value-free tetapi lebih tepat
value-laden. Atas dasar itu, sains modern tidak dapat dikatakan bersifat
universal tetapi lebih bersifat western sentries.
Tugas filsafat sains islam adalah membedah penyakit-penyakit pemikiran dalam sains Barat, dengan mempertanyakan secara kritis dan mendasar terhadap pandangan[13] dan asumsi-asumsi dasarnya, mengidentifikasi aspek-aspek positif dan negatifnya, serta mengkomparasikan dengan pandangan Islam agar dapat ditarik secara jelas dan tegas garis pemisah antara persamaan dab perbedaannya dengan pandangan islam. Pada saat yang sama, filsafat sains islam juga menghendaki dilakukannya peggalian terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran islam agar dapat dijadikan sebagai landasan pengebangan sains. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka upaya mengintegrasikan sains Barat kedalam islam—dengan mengeliminasi aspek-aspek yang bertentangan dengan islam—menjadi lebih bermakna. Jika tidak, maka integrasi alternative dari sains Barat yang telah berada di ambang krisis dan tidak dapat memecahkan problem masyarakatnya sendirin alih-alih umat islam.[14]
A.
Filsafat Ketuhanan dan Fisika
Sejak
dahulu sampai sekarang, para filosof dan ahli pikir telah sangat letih berfikir
dan membahas tenteng “Prinsip Pertama” bagi alam samawi dan bumi ini: bagaimana
alam semesta ini terjadi dari-Nya sekiranya wujudnya memang berasal dari-Nya.
Dalam masalah ini, mereka sangat berbeda pendapat dan sampai sekarang masih
demikian.
Akan tetapi, al-Qur`an telah member kata putus
dalam masalah ini dan telah membuktikan
kebenaran yang dibawanya pada setiap masalah itu
dengan dalil-dalil yang logis dan rasional serta intuitif yang di akui oleh
akal dan hati dalam waktu yang sama. Dar itu, perhatian umat Islam pada tahap
awal dari sejarah Islam adalah tertuju pada memahami isi al-Qur`an dalam
masalah-masalah tersebut setelah mereka beriman lebih dulu kepadanya
berdasarkan ilmu dan penalaran, yaitu melalui dalil-dalil kosmologi yang telah
dialihkan perhatian mereka kepadanya oleh wahyu untuk berpikir dan menggunakan
rasio.
Tidak mudah menghimpun ayat-ayat al Qur`an yang menunjukkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta, manusia dan segala yang melata di atas bumi serta yang terkandung di dalamnya. Allah telah menjadikan semua itu dari tidak ada dan meletakkannya dalam suatu sistem yang indah lagi rapi agar dapat menjadikan sasaran pemikiran akal, sehingga darinya dapat disimpulkan adanya Pencipta Yang Maha Esa secara pasti, dan juga agar kehidupan manusia di dalamnya menjadi mudah dan gampang.[15]
Dari
itu, dapatlah kita mengerti metode al-Qur`an dalam membentangkan
hakikat-hakikat falsafi, dan dalam membuat dalilnya dengan berbicara kepada
indra, hati dan akal secara serentak, sehingga setiap orang yang mau berfikir
dengan wajar dalam bertadabbur ayat-ayat al-Qur`an dalam masalah ini akan
sampai kepada imam bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Yang Maha Esa, Maha
Kuasa, Maha Bijaksana.[16]
Bukanlah disini tempatnya merincikan
solusi-solusi yang hak yang dibawa al-Qur`an terhadap problema-problema yang
telah dan masih membingungkan para filosof dan ahli pikir dalam filsafat
ketuhanan dan filsafat alam. Cukuplah sekedarnya kami singgung disini bahwa
al-Qur`an mengandung dalam ajarannya pokok-pokok dua filsafat tersebut, yakni
alam semesta ini tidak lah terjadi dengan sendirinya seperti yang dikatakan
oleh kaum ateis dan naturalis. Alam ini dijadikan dari tidak ada Oleh Allah
Yang Maha Esa, tidak ada serikat dan pembantu bagi-Nya. Inilah yang merupakan
faktor kuat yang kemudiannya telah memalingkan perhatian pemikir islam terhadap
filsafat dalam berbagai sisinya.[17]
Demikian
al-Qur`an menyelesaikan persoalan ketuhanan dan alam ciptaan. Jadi, Allah
bukanlah “Penggerak Pertama” seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, dan bukan
pula hanya “pembuat” yang telah selesai membuat lalu dibiarkannya tanpa
perhatian dan pemeliharaan atau tanpa pengetahuan yang lengkap terhadap apa
yang telah terjadi darinya.
Sesungguhya ilmu Allah menjagkau segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi. Dia Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam hati, Mengetahui usaha segala mahkluk; mengetahui apa yang di darat dan apa yang di lautan; mengetahui daun daun yang berguguran di malam gelap gulita dan lain-lain sebagainya seperti firman-Nya dalam surat al-An`am; 3, 59, Surat Hud; 5-6 dan Surat al-Mulk: 13-14.[18]
B. Filsafat
Manusia dan Sosial
Disamping ini semua, al-Qur`an juga mengandung
ajaran tentang filsafat manusia dalam pelbagai limgkungan dan situasi, baik dia
sebagai invidu , anggota keluarga, anggota dalam masyarakat besar atau kecil,
warga dari suatu bangsa atau Negara ataupun anggota dari masyarakat
internasional. Al-Qur`an meremehkan segi-segi tersebut, sehingga ia merupakan
Pembina dasar-dasar umum yang menjadi landasan bagi tegaknya masyarakat
sejahtera yang diidamkan.
Allah telah melimpahkan kemuliaan yang
sempurna bagi manusia dengan menghilangkan kekuasan para pendeta dan
tokoh-tokoh agama, sehingga tidak ada lagi perantara atau pemberi syafa`at
antara Allah dengan manusia. Jadi, tidak ada pendeta rahib yang memberi ampun
bagi insane yang berdosa.[19]
Sesungguhnya, selama berabad-abad yang
lalu ilmu dan filsafat itu menyatu. Dalam perjalanan waktu, pengetahuan menjadi
demikian luasnya sehingga amatlah sulit untuk menyatukannya. Filsafat menjadi
terpisah dari Ilmu dan Ilmu itu sendiri terpisah manjadi sejumlah ilmu mandiri.
Bahkan filsafat menjadi terpecah menjadi sejumlah kajian tertentu. Pembedaan,
pembagian dan pemilahan ilmu kini kita dapat menyaksikan ilmu-ilmu seperti
Filsafat Agama. Oleh kareana itu, amatlah perlu untuk mendefenisikan apa yang
sebenarnya di maksud dengan filsafat dalam buku ini dan filsafat secara umum
pada masa kini.
G. BIDANG
KAJIAN FILSAFAT ITU SANGAT LUAS
Filsafat, sebagaimana telah kita nyatakan dalam pembukaan buku ini, sebenarnya sulit karena ia memasalahkan unsure unsur dalam ruang atau bentangan ruang dan waktu matematika memahami fungsinya karena ia memasalahkan dalam buku ini belum lagi menyadari batas-batasnya. Ia hendak mencakup semua[20]cabang ilmu lainnya dengan harapan dapat memahami dasar semuanya, naun ia sendiri belum menemukan dasar nya sendiri, dan bahkan mungkin tidak akan menemukannya. Di sinilah letak kesulitannya serta keragamannya. Filsafat adalah cabang ilmu yang paling penting, dan semua perkembangan manusia dan ilmunya pasti terkait dengan perkembangan filsafat. Sama seperti kehendak manusia untuk menguasai semua tindakannya, maka demikian pula filsafat kebudayaan hendak menguasai semua arah perkembangannya. Suatu peradaban tanpa bimbingan filsafat sama saja seperti sebuah kapal tanpa kompas.
Lalu
Apakah Filsafat Itu?
Apakah
tujuannya? Apakah fuungsinya? Apa saja permasalahannya? Bagaimana metodenya?
Ini semua merupakan pertanyaan-petanyaan penting, dan kendati jawabannya sulit,
kita harus berusaha meninjaunya secara ringkas sebelum mulai masuk kedalam perinciannya,
dengan demikian kita mempunyai bayangan apa yang di permasalahkan dalam bahasa
kita. Defenisi dibawah ini bukanlah dari penulis, tapi pekerjaan member acuan
kepada setiap penulis dan mengutip setiap bab dan ayatnya syngguh bertele-tele[21]
padahal banyak sekali persamaanya, sehingga akan menyesatkan jika harus
mengenali satu penulis tertentu dengan defenisinya atau deskripsinya mengenai
filsafat. Tujuan utama kajian filsafat adalah untuk memastikan sifat kenyataan
yang paling mutlak.
Sedangkan
kenyataan adalah dasar keberadaan, tetapi kenyataan itu merupakan kualitas yang
tidak dapat di defenisikan. Dia adalah keberadaan atau kehadiran andai kata
kita dapat mendefenisikan Kenyataan, maka tidak lah perlu ada filsafat.
Filsafat adalah sebuah kajian sistematik mengenai sifat kenyataan Dean Inge
mengatakan: “saya sulit membedakan antara filsafat dan agama” L.T. Hobhouse
berpendapat bahwa, “filsafat adalah suatu usaha rasional untuk menerjemahkan
kenyataan secara keseluruhan”.[22]
Perbedaan
antara Ilmu dan Filsafat
Ilmu
membatasi dirinya kepada kajian sejumlah aspek kenyataan tertentu, sedangkan
filsafat menyibukkan dirinya dengan sifat mutlak dari kenyataan. Beberapa
concoh akan menjelaskan apa yang di maksud dengan perbedaan itu.
Matematika dalah salah satu ilmu pasti yang
mengkaji abstraksi ruang dan angka. Baik matemayika euklides maupun lainnya
merumuskan gagasan-gagasan atau konsep-konsepnya kedalam bahasa lambing dan
angka untuk menyajikan konsep-konsep itu. Setelah itu dapatlah diikuti secara
deduktif onsepnya dan menetapkan sebuah sistem pengukuran tertentun yang
berkenan dengan angka-angka dan keruangannya, yang semuanya berguna dalam
kehidupan kita dan peelitian ilmu lainnya. Kita menjadi sadar akan sifat
kenyataan dari ruang dan angka degan cara penyajian demikian.[23]
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas
Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An,
(Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986
2. M.M
SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997
3. Drs.
H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains
Dalam Al Qur an (Malang): UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50
Malang-2007
4. Prof.Dr.M.Yusuf
Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998
5. Al-Haj
Hafiz Ghulam Sarwar, (Jakarta), Pustaka Firdaus-1993
[1] Abbas
Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An,
(Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 11)
[3]
Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat
Qur`An,
(Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 16)
[4] [4]
Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat Qur`An, (Jakarta): Pustaka
Firdaus, Agustus-1986(hal 17)
[5]
Abbas Mahmud Al Aqqad, Filsafat
Qur`An,
(Jakarta): Pustaka Firdaus, Agustus-1986(hal 19)
[6] M.M
SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997(hal
5)
[7] [7]
M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997(hal
6)
[8]
M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997(hal
7)
[9]
M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997(hal
8)
[10]
M.M SYARIF, Esensi Al-Qur`an, Filsafat,(Bandung):
Mizan anggota IKAPI-1997(hal
10)
[11] Drs.
H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat Sains
Dalam Al Qur an (Malang):
UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal6)
[12]
Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat
Sains Dalam Al Qur an (Malang):
UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal6)
[13]
Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat
Sains Dalam Al Qur an (Malang):
UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal7)
[14]
Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., MA, H, Imron Rossidy, M. Th., M.Ed. Filsafat
Sains Dalam Al Qur an (Malang):
UIN-Malang Press Jalan Gajayana 50 Malang-2007(hal8)
[15]
Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 11)
[16] Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT
Bulan bintang-1998(hal 12)
[17] Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT
Bulan bintang-1998(hal 13)
[18]
Prof.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 18)
[19]
.Dr.M.Yusuf Musa, Al Qur`an dan Filsafat(Jakarta), PT Bulan bintang-1998(hal 22)
[20]
Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar,
(Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 9)
[21] Al-Haj
Hafiz Ghulam Sarwar,
(Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 10)
[22]
Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar,
(Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 11)
[23]
Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar,
(Jakarta), Pustaka Firdaus-1993(hal 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar