Kebudayaan Suku Melayu
DOSEN PENGAMPU
: Radhia Amna ,S.Pd, M.Pd
DISUSUN
OLEH
:
·
Annisa Dinda Hasanah Hrp (0309162073)
·
Popi Saptika Sari (0309162030)
·
Indriani Syafitri (0309162045)
PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2019
KATA PENGANTAR
Asalamualaikum.Wr.Wb
Puji
dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang hanya kepadanya-lah,kita harus
menghambakan diri. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi kita,
Muhammad SAW keluarga serta sahabatnya dan akhirnya kepada kita sebagai umat yg
tunduk terhadap ajaran yang dibawanya
kami merasa
lega dan bahagia karna dapat menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh
pembimbing mata kuliah Studi Masyarakat Sosial dengan waktu yang telah
direncanakan,dan semoga makalah ini ilmunya dapat bermanfaat bagi kita semua
kami
mengucapkan banyak terimakasih telah membaca makalah kami,dan mohon maaf bila ada kesalahan kata-kata kami dalam
membuat makalah ini.
Wasalamualaikum.Wr.Wb
DAFTAR ISI
BAB
I ............................................................................................................................
A. LATAR
BELAKANG .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
BAB
II ....................................................................................................................
A.
Pengertian Suku Melayu.................................................................................... 2
B.
Tingkatan Kebangsawanan ............................................................................... 4
C.
Sistem Kekerabatan ......................................................................................... 6
D.
Pakaian Adat Melayu........................................................................................ 6
E.
Kesenian Adat Melayu .................................................................................... 7
BAB III .....................................................................................................................
A.
Kesimpulan ..................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etnik Melayu adalah salah satu
kelompok etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Mereka merasa satu
kebudayaan dengan etnik Melayu di berbagai kawasan, seperti di Riau, Jambi,
Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan lainnya. Begitu
juga orang Melayu di Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, Pattani, Kamboka,
Srilanka, Madagaskar, dan lain-lainnya.
Orang Melayu di Sumatera Utara
memiliki ciri-ciri khas kebudayaan, seperti sistem kekerabatan yang menggunakan
unsur impal, seni sinandong, dedeng, tari serampang dua belas, dan
lain-lainnya. Namun ada juga berbagai persamaan sosiobudaya dengan kawasan
Melayu lain, seperti adat-istiadat perkawinan, seni zapin, bahasa Melayu,
upacara-upacara tradisional, dan lain-lainnya.
Pada masa sekarang ini, menurut
perhatian penulis, kebudayaan Melayu mengalami rituasi yang timpang dalam
mengekalkan budaya atau peradabannya. Ini disebabkan oleh globalisasi yang
begitu deras menghantam pilat-pilar tradisi yang terdapat di seluruh dunia.
Globalisasi telah mengakibatkan sikap “inferioritas” di kalangan generasi muda.
Oleh karena itu, perlu dilakukan enkulturasi dan transmisi kebudayaan bagi
setiap bangsa dan kelompok etnik, agar ia tetap memiliki identitas (jatidiri)
dan kepribadian yang khas.
Demikian pula di kalangan masyarakat
Melayu di Provinsi Sumatera Utara. Kita harapkan agar budaya Melayu berkekalan
di tengah situasi globalisasi, terutama di kalangan geenrasi muda. Termasuk
terapannya dalam melanjutkan nilai-nilai dan filsafat Melayu bagi para jaka dan
dara di Kota Medan. Namun sebelumnya dikaji terlebih dahulu menegnai Dunia
Melayu/
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Suku Melayu ?
2. Bagaimana Tingkatan Kebangsawanan Melayu
3. Bagaimaa Sistem Kekerabatan Melayu
4. Bagaimana Kesenian Budaya Melayu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Suku Melayu
Menurut Ismail Hussein (1994) kata
Melayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya
merangkumi suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenali
oleh orang-orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan
perniagaan.
Masyarakat Melayu adalah orang-orang
yang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas
perdagangan dan pertukaran barang dan kesenian dari berbagai wilayah dunia.
Istilah Melayu, maknanya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang mencakup
kepulauan di Asia Tenggara. Perkataan ini juga bermakna sebagai etnik atau orang
Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan tempat-tempat lain yang
menggunakan bahasa Melayu (Salazar 1989).
Melayu juga selalu dihubungkan dengan
kepulauan Melayu yang merangkumi kepulauan Asia Tenggara dan ditafsirkan
menurut tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Ia dikaitkan dengan
masyarakat yang tinggal berhampiran dengan Palembang; dan di Borneo
(Kalimantan) pula perkataan Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang beragama
Islam—sementara di Semenanjung Malaysia arti Melayu dikaitkan dengan orang yang
berkulit coklat atau sawo matang (Bellwood 1985).
Istilah Melayu berasal dari bahasa
Sanskerta yang dikenal sebagai Malaya, yaitu sebuah kawasan yang dikenali
sebagai daratan yang dikelilingi oleh lautan . Kelompok ras Melayu dapat
digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang
mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole (1983)
seorang pakar antropologi Inggeris telah melihat bukti-bukti arkeologi,
linguistik dan etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah
golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia. Ia
menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan
pada suatu masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga
ke Madagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara
hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru. Melayu
dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem ekonomi, politik, dan juga
budaya. Dari sudut ekonomi, Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan
tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal hingga hari ini.
Dari sudut ekonomi, orang Melayu
adalah golongan 2 pelaut dan pedagang yang pernah menjadi kuasa dominan di
Lautan Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan kuasa Eropa. Dari segi politik
pula, sistem kerajaan Melayu berasaskan pemerintahan beraja bermula di Campa
dan Funan, yaitu di Kamboja dan Selatan Vietnam pada awal abad Masehi. Dari
kerajaan Melayu tua ini telah berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra
dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu.
Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka
kemudian menjadi Pattani (Wan Hashim 1991).
Untuk
menentukan kawasan kebudayaan Melayu dua perkara menjadi kriteria penjelasan,
yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada
Asia Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat meragkumi Lautan
Hindia ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi
Gugusan Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira
103.6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia
Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang
(Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu 1994). Dari sudut bahasa pula, Melayu
memiliki ciriciri persamaan dengan rumpun keluarga bahasa Melayu-Austronesia
(menurut istilah arkeologi) atau keluarga Melayu-Polinesia (menurut istilah
linguisik) (Haziyah Husein 2006:6).
Demikian pula keberadaan
masyarakat Melayu di Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah
berada di negara Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa
saling memiliki kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas
dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi.
Secara budaya, baik bahasa dan kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun
tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap
kawasan budaya Melayu.
Secara geopolitik, Dunia Melayu
umumnya dihubungkan dengan negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia
Tenggara dengan alur utama budaya Melayu, di antaranya adalah: Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian
etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam, dan lain-lain tempat. Berikut ini akan
dihuraikan beberapa kawasan tersebut, terutama yang memiliki hubungan
kebudayaan dengan etnik Melayu yang ada di Sumatera Utara.
B.
Tingkatan Kebangsawanan Melayu
Tingkatan Kebangsawanan Melayu Seni
pertunjukan Dunia Melayu bukan hanya didukung oleh masyarakat kebanyakan
(rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Oleh kerana itu dikaji pula
tingkatan kebangsawanan Melayu.Dalam kebudayaan Melayu dikenal beberapa tingkat
kebangsawanan. Menurut Tengku Luckman Sinar, bangsawan dalam konsep budaya
Melayu adalah golongan yang dipercayakan secara turun-temurun menguasai sautu
kekuasaan tertentu. Namun demikian,seorang bangsawan yang berbuat salah dalam
ukuran norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, dapat saja dikritik bahkan
diturunkan dari kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah,
kemudian berturut-turut ke negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga dan
keturunannya
Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan
golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut: (a) Tengku (di Riau disebut juga
Tengku Syaid) adalah pemimpin atau guru--baik dalam agama, akhlak, maupun
adat-istiadat. Menurut penjelasan Tengku Lah Husni, istilah Tengku pada budaya
Melayu Sumatera Timur, secara resmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857.
Dalam konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila
ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar
Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogis diwariskan
berdasarkan hubungan darah secara patrilineal. (b) Syaid, adalah golongan
orang-orang keturunan Arab dan dianggap sebagai zuriat dari Nabi Muhammad.
Gelar ini terdapat juga di Riau dan Semenanjung Malaysia. (c) Raja, yaitu gelar
kebangsawanan yang dibawa dari Inderagiri (Siak), ataupun anak bangsawan dari
daerah Labuhan Batu: Bilah, Panai, dan Kota Pinang. Pengertian raja di daerah
Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara genealogis, bukan
seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda, gelar raja
itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas
ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian raja yang
diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan
Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub dalam
suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang
wanita Melayu bergelar Tengku nikah dengan seorang bangsawan yang bergelar
Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari
Minangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari
perkawinan ini berhak memakai gelar raja. (d) Wan. Jika seorang wanita Melayu
bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari
golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai
gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini,
sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia menikah. Jika martabat
suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini berubah untuk anaknya, menuruti
gelar suaminya--dan hilang jika kawin dengan orang kebanyakan. (e) Datuk.
Terminologi kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari Kesultanan Aceh, baik
langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini
diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi
yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau
kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan
atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap
berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di Malaysia gelar datuk diperolehi oleh
orang-orang yang dianggapberjasa dalam pengembangan budaya Malaysia. Kemudian
tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri. (f) Daeng, yang terdapat di Riau
adalah golongan bangsawan yang merupakan keturunan bangsawan daripada
masyarakat Bugis dari Sulawesi. Seperti diketahui bahwa masyarakat Bugis banyak
yang menetap di kawasan Melayu dan menjadi bagian dari etnik Melayu tempatan.
(g) Kaja. Gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk. (h) Encik
dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan penghormatan kepada
seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
dalam berbagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian, dagang, bahasa,
agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan,
atau masyarakat kebanyakan.
Sesuai dengan peralihan zaman, maka
penggolongan kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang
luas dalam konteks sosial budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun
biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini 8 yang menjadi
orientasi kehidupan sebagian besar etnik Melayu adalah menyerap ilmu
pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-istiadat Melayu.
C.
Sistem Kekerabatan
Dalam kebudayaan Melayu sistem
kekerabatan berdasar baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak
wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke
dalam sistem parental atau bilateral. Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada
hukum Islam (syarak), yang terlebih dahulu mengatur pembagian yang adil
terhadap hak syarikat, yaitu harta yang diperoleh bersama dalam sebuah
pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak mengenal harta bawaan dari
masing-masing pihak. Harta syarikat dilandaskan pada pengertian saham yang sama
diberikan dalam usaha hidup, yang ertinya mencakup: (1) suami berusaha dan
mencari rezeki di luar rumah; (2) isteri berusaha mengurus rumah tangga,
membela, dan mendidik anak-anak. Hak masing-masing adalah 50 %, separuh dari
harta pencaharian. Hukum ini dalam budaya Melayu Sumatera Utara, awal kali
ditetapkan oleh Sultan Gocah Pahlawan, pada saat menjadi Wakil Sultan Aceh,
Iskandar Muda, di Tanah Deli. Sampai sekarang hukum ini tetap berlangsung.
Sistem kekerabatan etnik Melayu di
Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan
yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok
(datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan
(10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah,
lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau
wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau
wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya
saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara
perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara;
(7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan
bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya
bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang
perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali,
empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali
dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.
D.
Pakaian Adat Melayu
Pakaian
Adat Melayu Etnik Melayu Sumatera Utara memiliki busana yang berfungsi fisik
dan sosial. Masyarakat Melayu juga sedar tentang harus ditutupnya aurat seperti
yang dianjurkan agama Islam, serta lebih jauh lagi adalah seni berpakaian.
Dalam rangka sedemikian ini, selain mengimpor kain dari luar, untuk
dipergunakan dalam kehidupannya, orang-orang Melayu sejak mula telah mengenal
teknologi membuat kain tenun, dalam bentuk tenunan tradisional, yang diberi
nama tenunan songket. Selain itu untuk pakaian wanita, dikenal dengan baju
kurung dan kebaya, serta baju teluk belanga atau gunting China bagi pakaian
lelaki. Songket umumnya merujuk arti kepada kain sarung (samping) dan
selendang. Pakaian bisanya berfungsi menutupi badan, yang mengikuti norma-norma
sosial. Adakalanya agama menganjurkan bagaimana adab dan sopan santun
berpakaian. Selain itu, dalam pakaian 15 terwujud nilai-nilai keindahan dan
etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini difungsikan dalam
berbagai-bagai aktiviti adat-istiadat, misalnya dalam upacara nikah kahwin,
sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin (sultan, tok kadhi, ketua kampung dan
lainnya). Demikian pula yang terjadi dalam budaya masyarakat di Dunia Melayu,
termasuk masyarakat Melayu Sumatera Utara.
E.
Keseian Budaya Melayu
·
Seni Musik Melayu
Kompang
Kompang ialah sejenis alat musik
tradisional yang paling popular bagi masyarakat Melayu. Ia tergolong dalam
kumpulan alat muzik gendang. Kulit kompang biasanya dibuat dari
kulit kambing betina, namun belakangan ini juga dibuat dari kulit lembu,
kerbau ataupun dari kuliat sintetik
Tterdapat dua bagian kompang yaitu
bagian muka (ada kulit) dipanggil belulang. Lalu bagian badan (kayu) disebut
baluh. Kompang memerlukan penegang atau sedak yang diletakkan antara belulang
dan baluh.
Menurut sejarah, alat musik ini berasal
dari Arab yang dibawa ke Tanah Melayu akibat perdagangan di zaman Kesultanan
Malaka pada abad ke-13.
Kompang ialah
sejenis alat musik tradisional yang paling popular bagi masyarakat Melayu.
Ia tergolong dalam kumpulan alat muzik gendang. Kulit kompang
biasanya dibuat dari kulit kambing betina, namun belakangan ini juga dibuat
dari kulit lembu, kerbau ataupun dari kuliat sintetik
Tterdapat dua bagian kompang yaitu
bagian muka (ada kulit) dipanggil belulang. Lalu bagian badan (kayu) disebut
baluh. Kompang memerlukan penegang atau sedak yang diletakkan antara belulang dan
baluh.
Menurut sejarah, alat musik ini berasal
dari Arab yang dibawa ke Tanah Melayu akibat perdagangan di zaman Kesultanan
Malaka pada abad ke-13.
Darbuka
Darbuka adalah drum tangan berbentuk
seperti jam pasir atau piala yang populer di budaya Timur Tengah. Sering
disebut sebagai drum piala, Darbuka menghasilkan suara yang berbeda ketika
musisi mememukulnya dengan telapak tangan atau jari-jari. Teknik memukul
Darbuka berbeda dari drum biasanya karena tidak harus dipukul dengan
keras untuk menghasilkan suara. Sebaliknya, musisi menggunakan teknik memukul
yang ringan dengan telapak tangan dan jari-jari.
Gambus
Gambus merupakan salah satu alat musik
yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini memiliki fungsi sebagai
pengiring tarian zapin dan nyanyian pada waktu diselenggarakan pesta pernikahan
atau acara syukuran. Alat musik ini identik dengan nyanyian yang bernafaskan
Islam. Dalam mengiringi penyanyi, alat musik ini juga diiringi dengan alat
musik lain, seperti marwas untuk memperindah irama nyanyian. Bentuknya yang
unik seperti bentuk buah labu siam atau labu air menjadikannya mudah dikenal.
Alat musik gambus juga dianggap penting dalam nyanyian Ghazal yang berasal dari
Timur Tengah pada masa kesultanan Malaka. Kedatangan pedagang-pedagang Timur
Tengah pada zaman Kesultanan Melayu Melaka telah membawa budaya masyarakat
mereka dan memperkenalkannya kepada masyarakat di Tanah Melayu.
Ada beberapa jenis gambus yang dapat
diperoleh di mana saja, terutama di kawasan tanah Melayu. Jenis-jenis tersebut,
seperti gambus yang hanya mempunyai tiga senar dan ada juga gambus yang
mempunyai 12 senar. Jumlah senar biasanya terpulang pada yang memainkannya.
Selain dimainkan secara solo, alat musik ini dapat juga dimainkan secara
berkelompok. Alat musik gambus dapat dimainkan di dalam perkumpulan musik-musik
tradisional atau modern. Bila dikolaborasi antara alat-alat musik tradisional
dengan modern akan menghasilkan irama yang merdu serta mempunyai keunikan
tersendiri.
·
SENI TARI MELAYU
Tari Makan Sirih (Tari Persembahan)
Tari makan sirih biasanya disebut tari
persembahan dan biasanya digunakan untuk menyambut tamu atau pembukaan
acara-acara tertentu. Tarian ini menggambarkan bahwa orang Melayu menghargai
hubungan persahabatan dan kekerabatan
Tari Makyong
Tarian
ini adalah jenis dramatari yang sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu. Makyong
diperkirakan telah ada hampir seabad yang lalu dan sering kali dipentaskan di
pematang sawah selepas memanen padi. Tarian tersebut dipentaskan oleh
penari-penari topeng dan diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan
tatawak.
Tari Zapin
Tari
zapin telah lama berkembang di banyak daerah di Indonesia. Tari ini banyak
dipengaruhi oleh budaya Arab dan sarat kandungan agama dan tata nilai. Tarian
ini mempertontonkan gerakan kaki cepat mengikuti pukulan gendang (marwas).
Zapin awalnya hanya dilakukan penari lrlaki namun kini penari perempuan juga
ditampilkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini
adalah sejauh mana pengetahuan seseorang terhadap kebudayaannya sendiri
dipengaruhi oleh berberapa hal dan salah satunya adalah dirinya sendiri. Besar
atau kecilnya nya rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaannya itulah yang
nantinya mencerminkan bahwa sejauh mana seseorang mengenali budayanya sendiri.
Jika semakin kecil rasa kecintaannya maka jelaslah seseorang tersebut belum
terlalu dekat dengan budaya sukunya sendiri, begitu juga sebaliknya.
Mengenali budaya sendiri khususnya melayu merupakan
sebuah keharusan baginya yang mengaku melayu. Sedikit banyaknya pengetahuan
kita mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya melayu menjadikan
kita secara tidak langsung mempelajari budaya itu sendiri. Seperti yang
dikatakan para pakar bahwa seseorang yang mengaku melayu jikalau ia: 1. Berbahasa
melayu, 2. Beradat-istiadat Melayu dan 3. Beragama Islam. Maka dari itu, ketiga
hal inilah menjadi patokan ataupun barometer sejauh mana kita sudah menjadi
bagian dari budaya itu sendiri khususnya budaya melayu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd.
Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia
Melaka, Biro Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam.
Ismail Husein, 1984. Antara Dunia
Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kasim Ahmad (penyelenggara), 1966.
Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
.Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar