Jumat, 24 Mei 2019

Kebudayaan Suku Melayu


Kebudayaan Suku Melayu
DOSEN PENGAMPU : Radhia Amna ,S.Pd, M.Pd
DISUSUN
                                                     OLEH :     
·       Annisa Dinda Hasanah Hrp    (0309162073)
·       Popi Saptika Sari                      (0309162030)
·       Indriani Syafitri                        (0309162045)
                                                             
                                                      
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2019


KATA PENGANTAR

       Asalamualaikum.Wr.Wb
          Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang hanya kepadanya-lah,kita harus menghambakan diri. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi kita, Muhammad SAW keluarga serta sahabatnya dan akhirnya kepada kita sebagai umat yg tunduk terhadap ajaran yang dibawanya
        kami merasa lega dan bahagia karna dapat menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh pembimbing mata kuliah Studi Masyarakat Sosial dengan waktu yang telah direncanakan,dan semoga makalah ini ilmunya dapat bermanfaat bagi kita semua
       kami mengucapkan banyak terimakasih telah membaca makalah kami,dan mohon maaf  bila ada kesalahan kata-kata kami dalam membuat makalah ini.

Wasalamualaikum.Wr.Wb   










DAFTAR ISI

BAB I  ............................................................................................................................
A.    LATAR BELAKANG .................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
BAB II         ....................................................................................................................
A.    Pengertian Suku Melayu.................................................................................... 2
B.     Tingkatan Kebangsawanan ............................................................................... 4
C.     Sistem Kekerabatan  ......................................................................................... 6
D.    Pakaian Adat Melayu........................................................................................ 6
E.     Kesenian Adat Melayu  .................................................................................... 7
BAB III      .....................................................................................................................
A.    Kesimpulan ..................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA  ............................................................................................. 13



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Etnik Melayu adalah salah satu kelompok etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Mereka merasa satu kebudayaan dengan etnik Melayu di berbagai kawasan, seperti di Riau, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan lainnya. Begitu juga orang Melayu di Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, Pattani, Kamboka, Srilanka, Madagaskar, dan lain-lainnya.
          Orang Melayu di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri khas kebudayaan, seperti sistem kekerabatan yang menggunakan unsur impal, seni sinandong, dedeng, tari serampang dua belas, dan lain-lainnya. Namun ada juga berbagai persamaan sosiobudaya dengan kawasan Melayu lain, seperti adat-istiadat perkawinan, seni zapin, bahasa Melayu, upacara-upacara tradisional, dan lain-lainnya.
           Pada masa sekarang ini, menurut perhatian penulis, kebudayaan Melayu mengalami rituasi yang timpang dalam mengekalkan budaya atau peradabannya. Ini disebabkan oleh globalisasi yang begitu deras menghantam pilat-pilar tradisi yang terdapat di seluruh dunia. Globalisasi telah mengakibatkan sikap “inferioritas” di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, perlu dilakukan enkulturasi dan transmisi kebudayaan bagi setiap bangsa dan kelompok etnik, agar ia tetap memiliki identitas (jatidiri) dan kepribadian yang khas.
        Demikian pula di kalangan masyarakat Melayu di Provinsi Sumatera Utara. Kita harapkan agar budaya Melayu berkekalan di tengah situasi globalisasi, terutama di kalangan geenrasi muda. Termasuk terapannya dalam melanjutkan nilai-nilai dan filsafat Melayu bagi para jaka dan dara di Kota Medan. Namun sebelumnya dikaji terlebih dahulu menegnai Dunia Melayu/
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Suku Melayu ?
2.      Bagaimana Tingkatan Kebangsawanan Melayu
3.      Bagaimaa Sistem Kekerabatan Melayu
4.      Bagaimana Kesenian Budaya Melayu ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Suku Melayu
            Menurut Ismail Hussein (1994) kata Melayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya merangkumi suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenali oleh orang-orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan.
           Masyarakat Melayu adalah orang-orang yang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas perdagangan dan pertukaran barang dan kesenian dari berbagai wilayah dunia. Istilah Melayu, maknanya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara. Perkataan ini juga bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan tempat-tempat lain yang menggunakan bahasa Melayu (Salazar 1989).
        Melayu juga selalu dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang merangkumi kepulauan Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Ia dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal berhampiran dengan Palembang; dan di Borneo (Kalimantan) pula perkataan Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang beragama Islam—sementara di Semenanjung Malaysia arti Melayu dikaitkan dengan orang yang berkulit coklat atau sawo matang (Bellwood 1985).
           Istilah Melayu berasal dari bahasa Sanskerta yang dikenal sebagai Malaya, yaitu sebuah kawasan yang dikenali sebagai daratan yang dikelilingi oleh lautan . Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar antropologi Inggeris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik dan etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru. Melayu dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem ekonomi, politik, dan juga budaya. Dari sudut ekonomi, Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal hingga hari ini.
            Dari sudut ekonomi, orang Melayu adalah golongan 2 pelaut dan pedagang yang pernah menjadi kuasa dominan di Lautan Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan kuasa Eropa. Dari segi politik pula, sistem kerajaan Melayu berasaskan pemerintahan beraja bermula di Campa dan Funan, yaitu di Kamboja dan Selatan Vietnam pada awal abad Masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini telah berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu. Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka kemudian menjadi Pattani (Wan Hashim 1991).
        Untuk menentukan kawasan kebudayaan Melayu dua perkara menjadi kriteria penjelasan, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada Asia Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat meragkumi Lautan Hindia ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira 103.6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang (Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu 1994). Dari sudut bahasa pula, Melayu memiliki ciriciri persamaan dengan rumpun keluarga bahasa Melayu-Austronesia (menurut istilah arkeologi) atau keluarga Melayu-Polinesia (menurut istilah linguisik) (Haziyah Husein 2006:6).
              Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa saling memiliki kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi. Secara budaya, baik bahasa dan kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu.
             Secara geopolitik, Dunia Melayu umumnya dihubungkan dengan negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur utama budaya Melayu, di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam, dan lain-lain tempat. Berikut ini akan dihuraikan beberapa kawasan tersebut, terutama yang memiliki hubungan kebudayaan dengan etnik Melayu yang ada di Sumatera Utara.     
B.     Tingkatan Kebangsawanan Melayu
      Tingkatan Kebangsawanan Melayu Seni pertunjukan Dunia Melayu bukan hanya didukung oleh masyarakat kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Oleh kerana itu dikaji pula tingkatan kebangsawanan Melayu.Dalam kebudayaan Melayu dikenal beberapa tingkat kebangsawanan. Menurut Tengku Luckman Sinar, bangsawan dalam konsep budaya Melayu adalah golongan yang dipercayakan secara turun-temurun menguasai sautu kekuasaan tertentu. Namun demikian,seorang bangsawan yang berbuat salah dalam ukuran norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, dapat saja dikritik bahkan diturunkan dari kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut ke negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga dan keturunannya
Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut: (a) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah pemimpin atau guru--baik dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. Menurut penjelasan Tengku Lah Husni, istilah Tengku pada budaya Melayu Sumatera Timur, secara resmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857. Dalam konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogis diwariskan berdasarkan hubungan darah secara patrilineal. (b) Syaid, adalah golongan orang-orang keturunan Arab dan dianggap sebagai zuriat dari Nabi Muhammad. Gelar ini terdapat juga di Riau dan Semenanjung Malaysia. (c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Inderagiri (Siak), ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu: Bilah, Panai, dan Kota Pinang. Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara genealogis, bukan seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku nikah dengan seorang bangsawan yang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari Minangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari perkawinan ini berhak memakai gelar raja. (d) Wan. Jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia menikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini berubah untuk anaknya, menuruti gelar suaminya--dan hilang jika kawin dengan orang kebanyakan. (e) Datuk. Terminologi kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di Malaysia gelar datuk diperolehi oleh orang-orang yang dianggapberjasa dalam pengembangan budaya Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri. (f) Daeng, yang terdapat di Riau adalah golongan bangsawan yang merupakan keturunan bangsawan daripada masyarakat Bugis dari Sulawesi. Seperti diketahui bahwa masyarakat Bugis banyak yang menetap di kawasan Melayu dan menjadi bagian dari etnik Melayu tempatan. (g) Kaja. Gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk. (h) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam berbagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian, dagang, bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan, atau masyarakat kebanyakan.
Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang luas dalam konteks sosial budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini 8 yang menjadi orientasi kehidupan sebagian besar etnik Melayu adalah menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-istiadat Melayu.
C.    Sistem Kekerabatan
              Dalam kebudayaan Melayu sistem kekerabatan berdasar baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke dalam sistem parental atau bilateral. Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hukum Islam (syarak), yang terlebih dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang diperoleh bersama dalam sebuah pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak mengenal harta bawaan dari masing-masing pihak. Harta syarikat dilandaskan pada pengertian saham yang sama diberikan dalam usaha hidup, yang ertinya mencakup: (1) suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) isteri berusaha mengurus rumah tangga, membela, dan mendidik anak-anak. Hak masing-masing adalah 50 %, separuh dari harta pencaharian. Hukum ini dalam budaya Melayu Sumatera Utara, awal kali ditetapkan oleh Sultan Gocah Pahlawan, pada saat menjadi Wakil Sultan Aceh, Iskandar Muda, di Tanah Deli. Sampai sekarang hukum ini tetap berlangsung.
             Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.

D.    Pakaian Adat Melayu
            Pakaian Adat Melayu Etnik Melayu Sumatera Utara memiliki busana yang berfungsi fisik dan sosial. Masyarakat Melayu juga sedar tentang harus ditutupnya aurat seperti yang dianjurkan agama Islam, serta lebih jauh lagi adalah seni berpakaian. Dalam rangka sedemikian ini, selain mengimpor kain dari luar, untuk dipergunakan dalam kehidupannya, orang-orang Melayu sejak mula telah mengenal teknologi membuat kain tenun, dalam bentuk tenunan tradisional, yang diberi nama tenunan songket. Selain itu untuk pakaian wanita, dikenal dengan baju kurung dan kebaya, serta baju teluk belanga atau gunting China bagi pakaian lelaki. Songket umumnya merujuk arti kepada kain sarung (samping) dan selendang. Pakaian bisanya berfungsi menutupi badan, yang mengikuti norma-norma sosial. Adakalanya agama menganjurkan bagaimana adab dan sopan santun berpakaian. Selain itu, dalam pakaian 15 terwujud nilai-nilai keindahan dan etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini difungsikan dalam berbagai-bagai aktiviti adat-istiadat, misalnya dalam upacara nikah kahwin, sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin (sultan, tok kadhi, ketua kampung dan lainnya). Demikian pula yang terjadi dalam budaya masyarakat di Dunia Melayu, termasuk masyarakat Melayu Sumatera Utara.
E.     Keseian Budaya Melayu
·         Seni Musik Melayu
Kompang
            Kompang ialah sejenis alat musik tradisional yang paling popular bagi masyarakat Melayu. Ia tergolong dalam kumpulan alat muzik gendang. Kulit kompang biasanya dibuat dari kulit kambing betina, namun belakangan ini juga dibuat dari kulit lembu, kerbau ataupun dari kuliat sintetik
Tterdapat dua bagian kompang yaitu bagian muka (ada kulit) dipanggil belulang. Lalu bagian badan (kayu) disebut baluh. Kompang memerlukan penegang atau sedak yang diletakkan antara belulang dan baluh.
Menurut sejarah, alat musik ini berasal dari Arab yang dibawa ke Tanah Melayu akibat perdagangan di zaman Kesultanan Malaka pada abad ke-13.
Kompang ialah sejenis alat musik tradisional yang paling popular bagi masyarakat Melayu. Ia tergolong dalam kumpulan alat muzik gendang. Kulit kompang biasanya dibuat dari kulit kambing betina, namun belakangan ini juga dibuat dari kulit lembu, kerbau ataupun dari kuliat sintetik
Tterdapat dua bagian kompang yaitu bagian muka (ada kulit) dipanggil belulang. Lalu bagian badan (kayu) disebut baluh. Kompang memerlukan penegang atau sedak yang diletakkan antara belulang dan baluh.
Menurut sejarah, alat musik ini berasal dari Arab yang dibawa ke Tanah Melayu akibat perdagangan di zaman Kesultanan Malaka pada abad ke-13.

Darbuka
            Darbuka adalah drum tangan berbentuk seperti jam pasir atau piala yang populer di budaya Timur Tengah. Sering disebut sebagai drum piala, Darbuka menghasilkan suara yang berbeda ketika musisi mememukulnya dengan telapak tangan atau jari-jari. Teknik memukul Darbuka berbeda dari drum biasanya  karena tidak harus dipukul dengan keras untuk menghasilkan suara. Sebaliknya, musisi menggunakan teknik memukul yang ringan dengan telapak tangan dan jari-jari.
Gambus
            Gambus merupakan salah satu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini memiliki fungsi sebagai pengiring tarian zapin dan nyanyian pada waktu diselenggarakan pesta pernikahan atau acara syukuran. Alat musik ini identik dengan nyanyian yang bernafaskan Islam. Dalam mengiringi penyanyi, alat musik ini juga diiringi dengan alat musik lain, seperti marwas untuk memperindah irama nyanyian. Bentuknya yang unik seperti bentuk buah labu siam atau labu air menjadikannya mudah dikenal. Alat musik gambus juga dianggap penting dalam nyanyian Ghazal yang berasal dari Timur Tengah pada masa kesultanan Malaka. Kedatangan pedagang-pedagang Timur Tengah pada zaman Kesultanan Melayu Melaka telah membawa budaya masyarakat mereka dan memperkenalkannya kepada masyarakat di Tanah Melayu.
Ada beberapa jenis gambus yang dapat diperoleh di mana saja, terutama di kawasan tanah Melayu. Jenis-jenis tersebut, seperti gambus yang hanya mempunyai tiga senar dan ada juga gambus yang mempunyai 12 senar. Jumlah senar biasanya terpulang pada yang memainkannya. Selain dimainkan secara solo, alat musik ini dapat juga dimainkan secara berkelompok. Alat musik gambus dapat dimainkan di dalam perkumpulan musik-musik tradisional atau modern. Bila dikolaborasi antara alat-alat musik tradisional dengan modern akan menghasilkan irama yang merdu serta mempunyai keunikan tersendiri.



·         SENI TARI MELAYU
Tari Makan Sirih (Tari Persembahan)
Tari makan sirih biasanya disebut tari persembahan dan biasanya digunakan untuk menyambut tamu atau pembukaan acara-acara tertentu. Tarian ini menggambarkan bahwa orang Melayu menghargai hubungan persahabatan dan kekerabatan
Tari Makyong
            Tarian ini adalah jenis dramatari yang sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu. Makyong diperkirakan telah ada hampir seabad yang lalu dan sering kali dipentaskan di pematang sawah selepas memanen padi. Tarian tersebut dipentaskan oleh penari-penari topeng dan diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tatawak.

Tari Zapin
            Tari zapin telah lama berkembang di banyak daerah di Indonesia. Tari ini banyak dipengaruhi oleh budaya Arab dan sarat kandungan agama dan tata nilai. Tarian ini mempertontonkan gerakan kaki cepat mengikuti pukulan gendang (marwas). Zapin awalnya hanya dilakukan penari lrlaki namun kini penari perempuan juga ditampilkan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah sejauh mana pengetahuan seseorang terhadap kebudayaannya sendiri dipengaruhi oleh berberapa hal dan salah satunya adalah dirinya sendiri. Besar atau kecilnya nya rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaannya itulah yang nantinya mencerminkan bahwa sejauh mana seseorang mengenali budayanya sendiri. Jika semakin kecil rasa kecintaannya maka jelaslah seseorang tersebut belum terlalu dekat dengan budaya sukunya sendiri, begitu juga sebaliknya.
Mengenali budaya sendiri khususnya melayu merupakan sebuah keharusan baginya yang mengaku melayu. Sedikit banyaknya pengetahuan kita mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya melayu menjadikan kita secara tidak langsung mempelajari budaya itu sendiri. Seperti yang dikatakan para pakar bahwa seseorang yang mengaku melayu jikalau ia: 1. Berbahasa melayu, 2. Beradat-istiadat Melayu dan 3. Beragama Islam. Maka dari itu, ketiga hal inilah menjadi patokan ataupun barometer sejauh mana kita sudah menjadi bagian dari budaya itu sendiri khususnya budaya melayu.










DAFTAR PUSTAKA
           Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka, Biro Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam.
         Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
       Kasim Ahmad (penyelenggara), 1966. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
        .Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar